Karena ada perumpamaan Batak mengatakan sebagai berikut: “Togu urat ni bulu, toguan urat ni padang; Togu nidok ni uhum, toguan nidok ni padan”, artinya: “Teguh akar bambu, lebih teguh akar rumput; Teguh ikatan hukum, lebih teguh ikatan janji”.
Over the time when the Batak kingdom was located in Bakara, the Sisingamangaraja dynasty on the Batak kingdom divided their kingdom into 4 locations with the title of Raja Maropat, which are:[four]
Silsilah atau tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak tersesat (nalilu).
The German health practitioner and geographer Franz Wilhelm Junghuhn frequented the Batak lands between 1840 and 1841. Junghuhn says about cannibalism One of the Batak (whom he known as "Battaer"): "People today do the straightforward Battaer an injustice when it is claimed that they sell human flesh in the marketplaces, and they slaughter their previous people the moment they are unfit for do the job...They try to eat human flesh only in wartime, when they're enraged, and in several lawful circumstances."
Untuk orang-orang yang dituakan selain kepala suku, mereka mengunakan pakaian berwarna biru atau putih dengan ukuran five hasta yang diikat seperti kepala suku yang ujungnya menonjol hingga ke kedua telinga.
The Tapanuli Residency is split into four regions that are named afdeling (Dutch for "section"); currently it is recognized as a regency or town, particularly:
Ungkapan bijak itu tidak kala penting dan nilainya bagi kehidupan mausia bila dibandingkan dengan ungkapan bijak dari sastra suku bangsa lain. Ungkapan berhikmat itu sungguh lahir dari pengalaman dan pergulatan hidup nenek moyang dari dahulu hingga masa sekarang.(BudayaBatak.AdamDewi.: 14 Maret 2015). Dikarenakan hal diatas, maka kami dari tim penyusun makalah ini sekiranya ingin sedikit memaparkan tentang kebudayaan Suku Batak , khususnya dalam didang kesusastraannya yang memang memiliki banyak sekali keragaman, mulai dari ungkapan-ungkapan berhikmat, puisi, sampai filsafah yang menandakan keragaman kesusastraan Suku Batak dalam Kesusastraan Nusantara yang selama ini belum diketahui oleh halayak umum dikarenakan kurangnya perhatian terhadap kesusastraan daerah di Indonesia ini.
Sebutan Raja kepada si Raja Batak bukanlah karena beliau seorang Raja, tetapi merupakan sebutan dari pengikutnya ataupun keturunanya raja botak sebagai penghormatan karena memang tidak ada ditemukan bukti2 yang menunjukkan adanya sebuah kerajaan yang dinamakan kerajaan Batak.
Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari sebelumnya.[37] Namun hal ini terkadang dibesar-besarkan dengan maksud untuk menakut-nakuti pihak yang bermaksud menjajah dan/atau sesekali agar mendapatkan pekerjaan baik sebagai tukang pundak bagi pedagang maupun sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang diganggu oleh bajak laut.[38]
Bentuk-bentuk di atas merupakan bentuk yang digeneralisasi, tidak jarang suatu naskah menggunakan varian bentuk aksara atau tarikan garis yang sedikit berbeda antara satu sama lainnya, tergantung dari daerah asal dan media yang digunakan.[43]
"Mula Jadi offers him with all kinds of issues to select from. In case the tendi asks for ripe eggs, then the person whom he animates will be a bad fellow; if he asks for bouquets, then He'll Reside only a short time; if he asks for your hen, the individual might be restless; rags suggest poverty; an aged mat, not enough fame; a gold piece, prosperity; plate, spear, drugs pot suggest that He'll turn into a terrific Main or have an understanding of magic arts."
Missionaries established that resistance One of the Muslim Mandailing to Christianity was robust, along with the missionaries abandoned them as 'unreachable individuals', shifting north to convert the Toba.
Mereka akhirnya bermukim di daerah tepian danau karena telah mendapatkan kenyamanan yang di ada di daerah itu. Setelah penduduk bertambah banyak, beberapa di antara mereka berpindah ke daerah Silindung, sebagian berpindah ke daerah Dairi di utara, dan selebihnya ke daerah Angkola di selatan. Orang-orang Batak di Angkola ini kemudian berangsur-angsur berpindah ke daerah Minangkabau. Mereka percaya bahwa sultan dari Kerajaan Pagaruyung merupakan anak ketiga dari Alexander Agung.[nine]
Baju adat suku Batak antara lain ulos, kain tenun dengan motif khas suku Batak yang dipakai sebagai selendang atau sebagai pakaian dalam upacara adat.